Pendeta Albert Yoku : Penyanderaan Pilot Susi Air Menghambat Perkembangan Papua
Jakarta, metronew7.com - Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Jayapura, Albert Yoku mengatakan penyanderaan satu pilot Susi Air kewarganegaraan Selandia Baru Captain Phillip Marthens oleh Kelompok Separatis Teroris (KST) Papua pimpinan Egianus Kogoya menyebabkan 1000 pilot tidak terbang melayani masyarakat di pegunungan.
Hal itu tentunya dapat menghambat dan juga menjadi kemunduran yang luar biasa bagi perkembangan di Papua.
Egianus Kogoya harus tahu bahwa pilot itu adalah orang yang berjasa karena dia meninggalkan keluarganya dan siap menerima resiko di wilayah itu, sehingga para pimpinan adat harus bicara soal matinya perkembangan Papua, ujar tokoh agama Papua Pendeta Albert Yoku saat berdialog disalah satu stasiun Televisi Swasta Nasional, Kamis (2/3/2023).
Sejak tahun 1960-an daerah Papua terisolasi, terutama di daerah pegunungan. Tahun itu sudah mulai ada kedatangan misionaris dari Jerman dan US.
Amerika mencoba membangun komunikasi dengan suku-suku orang asli pegunungan dengan maksud melakukan perubahan manusiawi ke depan. Salah satunya adalah transportasi, jelas Pendeta Albert Yoku.
Ditambahkannya, saat itu dibangun lapangan perintis yang kemudian disusul dengan masuknya penerbangan-penerbangan yang bertujuan untuk membuka isolasi dan membawa perubahan di wilayah pegunungan Papua.
Karena belum ada jalur darat, maka kegiatan pembangunan manusia di Papua Pegunungan, salah satu alat yang mempermudah para petugas gereja, kesehatan dan barang hanya bisa dilakukan lewat jalur udara, oleh sebab itu para pilot itu adalah pahlawan pembuka keterisolasian dan pahlawan peradaban baru bagi orang Papua, ujar Ketua FKUB Kabupaten Jayapura.
Menurutnya, pengorbanan para pilot tidaklah kecil untuk bisa membawa peradaban dan pembangunan di Papua pegunungan, karena mereka mempertaruhkan nyawa dengan jalur yang pendek dan cuaca yang kadang buruk.
Lebih lanjut dijelaskan Pendeta Albert Yoku, istilah ‘satu tungku tiga batu’ biasanya digunakan untuk mediasi, negosiasi secara kearifan lokal. Misalnya jika di daerah penyanderaan ini, sebenarnya peran dari Bupati bersama dengan tokoh agama, juga ada peran dari pemerintah.
"Saya sangat mendorong untuk lembaga masyarakat adat Pegunungan ikut berperan dalam kegiatan ini, karena yang tahu pendekatan secara local wisdom, secara bahasa, budaya dan lain-lain adalah tiga unsur ini yang berada di dekat dan selalu berhubungan secara personal terhadap seluruh kondisi yang ada di sana, baik secara iman, keagamaan dan hukum budaya dan adat mereka di situ," pungkas tokoh agama Papua.
Pada waktu lalu dalam masalah yang bersifat konflik horizontal, sangat efektif menerapkan istilah tersebut, tapi pada soal penyanderaan ini adalah soal vertikal dan sudah melewati dari peran ketiga “tungku” itu.
"Namun, pemerintah diyakini akan melakukan tugas vertikal ini karena konteksnya sudah sangat tinggi dan berafiliasi pada politik dan militansi," tutur Pendeta Albert Yoku.
Sementara itu pada kempatan yang sama, Pengamat Politik Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan membuka isolasi di wilayah Pegunungan Papua adalah misi mereka, termasuk para pilot yang lulusan Belanda, mereka juga membawa bahan-bahan pokok.
Susi Air yang sudah berkiprah di Papua sejak 2006 ini akhirnya bisa masuk ke sebagian wilayah Papua, dan sekarang mengoperasikan 22 pesawat menjadi sangat penting. Terlepas dari upaya pemerintah sejak jaman Soeharto hingga kini Jokowi, memang wilayah Pegunungan tidak mungkin dilewati dengan jalur darat.
Ikrar mengakui pentingnya penerbangan-penerbangan perintis di Papua. Ini bukan kali pertama pesawat perintis dibakar oleh KKB, tahun 2021 sempat terjadi kejadian yang sama. Ini menunjukkan betapa besar peran dari saudara kita yang hendak pergi ke wilayah lain.
Penerbangan dengan Susi Air biayanya memang sangat minim, di situlah pentingnya penerbangan perintis, karena bukan hanya mengangkat barang, tapi juga mengangkat manusia.
"Makanya kalau kemudian masih terjadi lagi penyergapan bahkan pembakaran pesawat, membuat kita cukup sedih mendengar hal itu," ucap Ikrar Nusa Bhakti
Ikrar berharap pendekatan keamanan menjadi pilihan terakhir, namun sebelum itu bisa saja ada pilihan yang kedua, yakni apakah mungkin menggunakan pihak ketiga sebagai mediator untuk perundingan tersebut, dan ini memang memakan waktu.
"Kita juga pernah menggunakan pihak ketiga pada konflik Aceh dan itu berjalan dengan baik," jelasnya.
Perdamaian di Papua menjadi sangat penting, bukan hanya untuk rakyat setempat dan rakyat Indonesia secara keseluruhan, karena juga untuk internasional karena banyaknya investasi di tanah Papua.
"Kalau memang tidak ada pilihan lain, tentunya pendekatan keamanan yang akan digunakan dan harus dihitung secara matang apa yang akan terjadi ke depannya," tutup Ikrar. Red
Post a Comment